Jangakaun Jakarta Utara — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap fakta mengejutkan dalam sidang lanjutan kasus dugaan korupsi yang menjerat Abdul Wahid, mantan Bupati Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan. Dalam sidang tersebut, jaksa penuntut KPK memaparkan bahwa Wahid diduga menggunakan sebagian hasil korupsi untuk mendanai perjalanan ke luar negeri, termasuk ke negara-negara di Asia dan Timur Tengah.
Temuan itu disampaikan dalam sidang yang digelar di Pengadilan Tipikor Banjarmasin, Selasa (4/11/2025), yang menghadirkan sejumlah saksi dari pejabat daerah dan pihak swasta yang terlibat dalam proyek infrastruktur Kabupaten Hulu Sungai Utara.
Dugaan Penggunaan Uang Korupsi untuk Gaya Hidup Mewah
Jaksa KPK, Fajar Nugraha, dalam pembacaan dakwaannya menyebutkan bahwa Abdul Wahid menggunakan uang hasil suap dan gratifikasi untuk membiayai perjalanan ke luar negeri bersama keluarga dan beberapa orang kepercayaannya.
“Dana tersebut digunakan untuk membayar tiket pesawat, akomodasi hotel bintang lima, serta keperluan pribadi selama perjalanan ke luar negeri,” ujar Fajar di hadapan majelis hakim.
Berdasarkan bukti transaksi yang disita penyidik, terdapat setidaknya tujuh kali perjalanan luar negeri yang dilakukan Wahid antara tahun 2019 hingga 2022, termasuk ke Malaysia, Singapura, Turki, dan Arab Saudi. Sebagian perjalanan tersebut tidak tercatat dalam agenda resmi pemerintahan daerah.
“Perjalanan itu dilakukan bukan dalam rangka tugas dinas, melainkan bersifat pribadi. Biayanya diduga kuat berasal dari hasil tindak pidana korupsi,” tambah Fajar.
Modus Korupsi Melalui Proyek Infrastruktur
Dalam dakwaan tersebut, KPK juga menguraikan modus operandi Abdul Wahid dalam memperoleh uang haram tersebut. Ia diduga menerima fee proyek dari sejumlah kontraktor terkait pembangunan infrastruktur jalan, irigasi, dan gedung pemerintahan di Kabupaten Hulu Sungai Utara.
Fee tersebut bervariasi antara 10 hingga 15 persen dari total nilai proyek, yang kemudian dikumpulkan melalui orang kepercayaannya, termasuk pejabat di lingkungan dinas pekerjaan umum setempat.
“Dari hasil penyelidikan, total penerimaan Abdul Wahid mencapai lebih dari Rp23 miliar selama menjabat sebagai bupati,” ungkap jaksa.
Selain digunakan untuk keperluan pribadi, uang tersebut juga disebut digunakan untuk mendanai kegiatan politik dan membeli aset pribadi, seperti rumah, kendaraan mewah, serta pembelian logam mulia.

Baca juga: Bulog Pastikan Stok Beras Nasional Aman untuk Natal 2025 dan Tahun Baru 2026
Pembelaan Abdul Wahid: Semua Perjalanan untuk Kepentingan Daerah
Menanggapi tuduhan tersebut, Abdul Wahid yang hadir di persidangan membantah menggunakan uang hasil korupsi. Ia mengklaim bahwa seluruh perjalanan ke luar negeri dilakukan dalam kapasitasnya sebagai kepala daerah yang menjalankan kerja sama pembangunan.
“Saya pergi ke luar negeri bukan untuk jalan-jalan. Semua perjalanan dilakukan dalam rangka penjajakan kerja sama investasi dan studi banding terkait pengelolaan sumber daya daerah,” ujar Wahid saat diberikan kesempatan memberikan tanggapan.
Ia juga menegaskan bahwa sebagian biaya perjalanan ditanggung oleh pihak sponsor dan tidak ada uang negara yang disalahgunakan.
Namun, jaksa KPK menolak pembelaan tersebut. Berdasarkan hasil penelusuran, tidak ada dokumen resmi yang menunjukkan kerja sama atau undangan dari pihak luar negeri yang berkaitan dengan perjalanan Wahid.
KPK Dalami Aliran Dana dan Pihak Terlibat
KPK memastikan penyelidikan tidak berhenti pada Abdul Wahid semata. Lembaga antirasuah tersebut kini sedang mendalami aliran dana korupsi ke sejumlah pihak, termasuk kontraktor pelaksana proyek dan pejabat daerah lain yang diduga turut menikmati hasil korupsi.
“Kami masih mengusut keterlibatan beberapa pihak lain, baik dari unsur ASN maupun swasta. Tidak menutup kemungkinan akan ada tersangka baru,” kata Ali Fikri, Juru Bicara Penindakan KPK.
Ali menambahkan, dari hasil penelusuran sementara, ditemukan pula indikasi adanya penggunaan uang korupsi untuk pembelian tiket umrah dan investasi pribadi di sektor properti.
“Setiap rupiah hasil kejahatan akan kami kejar, termasuk aset-aset yang sudah dialihkan ke pihak lain,” tegasnya.
Transparansi dan Akuntabilitas Jadi Sorotan
Kasus Abdul Wahid menambah panjang daftar kepala daerah yang tersandung kasus korupsi dana proyek infrastruktur. Pengamat hukum dari Universitas Lambung Mangkurat, Dr. Yuliana Rahma, menilai kasus ini mencerminkan lemahnya sistem pengawasan keuangan daerah dan masih kuatnya budaya politik patronase.
“Ketika kekuasaan terlalu terpusat pada kepala daerah, potensi penyalahgunaan anggaran menjadi besar. KPK harus terus memperkuat mekanisme pencegahan, bukan hanya penindakan,” ujarnya.
Ia juga mendorong agar pemerintah pusat memperketat sistem verifikasi perjalanan dinas pejabat daerah, mengingat kasus serupa kerap disamarkan sebagai perjalanan kerja ke luar negeri.
Sidang Dilanjutkan Pekan Depan
Majelis hakim yang diketuai Suparman, SH, MH, memutuskan sidang akan dilanjutkan pekan depan dengan agenda pemeriksaan saksi tambahan dari pihak Dinas PUPR dan BPKAD.
KPK memastikan akan membawa seluruh bukti, termasuk rekaman transaksi dan daftar perjalanan luar negeri yang dilakukan Abdul Wahid, untuk memperkuat dakwaan.
Jika terbukti bersalah, Abdul Wahid terancam hukuman maksimal 20 tahun penjara dan denda hingga Rp1 miliar, sesuai dengan Pasal 12 huruf a dan Pasal 11 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.





